Pagi ini aku sangat bahagia, bisa
lulus SMA dengan predikat yang memuaskan. Bangga bisa menjadi contoh di
keluargaku. Aku terlahir di bumi ini tidak sendiri kawan… ada empat saudaraku.
Dua kakakku dan dua adikku. Kebetulan aku adalah anak lelaki satu-satunya yang
dimiliki oleh ayah dan ibuku, maka apapun yang aku mau pasti dituruti.
“ He minggir… ngapain di jalan
bengong begitu..???” aku kaget dan tersadar setelah mata elang cewek tersebut
menatapku. Hanya seorang maba pikirku, tidak beda denganku. Aku yakin dalam
satu minggu pasti aku mendapatkannya.
Ini adalah kuliah perdana, sudah
hampir ratusan mahasiswa yang ku jumpai merona-rona semua raut mukanya mungkin
itu adalah ekspresi bahagia yang tak dapat dijelaskan oleh ribuan rangkaian
kata-kata sekalipun.
Ku lanjutkan pencarianku, ruangan
yang sesuai dengan jadwal tempatku untuk belajar hari ini. C.2.1 wah ini dia
ruangan yang udah kucari-cari dari tadi. Ku langkahkan kakiku dengan santai,
mataku sibuk melihat satu per satu cewek yang ada di ruang kelas ini. Aku
terhenyak, ternyata si jilbab merah tadi satu ruangan denganku.
Awal perkuliahan ini hanya diisi
dengan ocehan dosen yang tak berbobot dan perkenalan yang selayaknya dilakukan
oleh anak-anak TK sampai tingkatan SMA. Suatu hal yang membuang-buang waktu
untuk tingkatan mahasiswa sepertiku. Bukannya kita (Mahasiswa) mempunyai cara tersendiri
untuk saling mengenal, toh kita kan sudah dewasa. Ocehanku yang hanya berlabuh
dipikiranku.
Teman-temanku telah berhamburan
keluar dari ruangan, kecuali aku dan si jilbab merah tadi. Karna ku baca ini
adalah sebuah peluang maka kudekati dia.
“ Hay… gi apa?” tanyaku. “Gak ji… cuman malas aj
keluar” jawabnya. “ sama yach, dengan ku. Ku juga malas”. Obrolanku berlangsung
dengan santai ahirnya setelah berbagai kata manis mengalir ke otaknya cewek
tersebut tanpa malu meminta no HP-ku. Aku tersenyum karna jurus pertamaku telah
berhasil aku terapkan, wajar seperti halnya cewek lain yang pernah menjadi
korbanku, begitu mudah mereka menerima bualanku.
Mushallah kampus, Ar-Rasyidin begitu
tertulis di papan nama yang berdiri di depan bangunan kecil tersebut. Di dalam
mushallah sangat bersih, keserasian cat yang melapisi dinding dan candela
sangat sedap dipandang, hingga Mahasiswa yang berkunjung di mushallah tersebut
pasti akan merasakan kenyamanan yang sangat. Masih di ruang mushallah, ada enam
cewek yang begitu asyik mendengarkan materi.
“ Kak, kenapa kita mesti berjilbab?
Kan jilbab bukan jaminan apakah wanita tesebut baik atau tidak.” Tanya salah
satu peserta kajian.
“ Dek, Sesungguhnya perhatian islam
terhadap wanita muslimah akan menemukan dalam hukum Islam perhatian
sangat besar agar mereka dapat menjaga kesuciannya, serta supaya menjadi wanita
yang mulia dan memiliki kedudukan yang tinggi. Dan syarat-syarat yang
diwajibkan pada pakaian dan perhiasannya tidak lain adalah untuk mencegah
kerusakan yang timbul akibat tabarruj (berhias diri). Inipun bukan untuk mengekang
kebebasannya akan tetapi sebagai pelindung baginya agar tidak tergelincir pada
lumpur kehinaan atau menjadi sorotan mata. Selain itu Jilbab juga merupakan
ketaatan, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an.
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak pula
bagi perempuan yang mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia
telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Q.S. Al-Ahzab: 36)
“ Lalu bagaimana dengan
jilbab yang hanya sampai pada lengan, jilbab yang menutupi seluruh badannya
kecuali muka dan satu lagi bagaimana hukumnya ‘Cadar’ Kak?
“ Hal ini membutuhkan jawaban
yang sangat mendalam lagi, tapi ada satu pesan dari Kakak, “ Selama hal itu
masih bersandarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah maka tidak menjadi masalah.” Dan
hukum Cadar menurut Ulama besar, Ibnu Qayyim, hal itu menjadi wajib. Sesuai
dengan perkataannya “ Seluruh tubuh wanita itu adalah aurat yang wajib ditutupi
“ pesan Kakak lagi, “ Cintailah islam secara menyeluruh, selama dia masih
mengucapkan syahadat itu adalah saudara kita.”
Tanpa komando para Mahasiswi
yang tadinya berkerumun, berdiri dan
saling menyalami ini mungkin pertanda kajian mereka tlah berahir. “ Namirah,
meskipun usia kita sama tapi yang menjadikanmu lebih disegani karna
pengetahuanmu yang sangat dalam tentang Islam.” Komentar Asmi setelah mengikuti
Materi tadi. Namirah hanya bisa tersenyum. Mereka berdua menuju ruang B.1 untuk
menerima materi kuliah perdananya.
Sudah dua minggu perkuliahan
berjalan, di hati Rahmad ada semacam dilema. Ini bukan masalah ilmu yang telah
digelutinya selama ini fine-fine aja. Hanya masalah cinta baginya, tak ada
sedikitpun tantangan untuk meraihnya. Kalau dia mau seratus gadis di kampus ini
pasti dia dapatkan. Siapa sih yang tidak mau dibonceng pergi-pulang kampus
dengan Kawasaki Ninja RR, udah orangnya tajir, pinter dan gagah lagi, pokoknya
cowok dambaan setiap cewek.
“ Said, aku bosan dengan ini
semua, bisakah kau carikan diriku mahiswi yang kau anggap susah untuk
mendapatkannya.” “Apakah dirimu belum puas, telah memiliki apa yang kau mau?.”
“Bukan seperti itu, cuman aku muak dengan kemudahan yang aku jalani ini.” “
Iya, aku baru ingat ada anak Bahasa Inggris yang terkenal pintar, dan ramah.
Cobalah apakah bisa kau tklukkan dengan gombalanmu itu.”
Setelah mendapat informasi
dari teman baikku, ku bergegas mencari informasi tentangnya aku tidak ngin
mensia-siakan waaktu sedikitpun. “ Eh,
maaf. Anak bahasa inggris kah?.” “ Iya, kau siapa?” “Kenalin aku Rahmad.” “ Aku
Asni.” Jawabnya singkat. “ Ada perlu apa?”
“Gini aku anak Bahasa Indonesia, aku dapat tugas nich dari ketua BEM
untuk mencari informasi tentang mahasiswa yang memberikan kontribusi terhadap
Mahasiswa lain baik kecil atau besar pengaruhnya. Menurut anda adakah dari anak
Bahasa Inggris yang memilikinya?” tanyaku dengan sedikit tipuan, dan sepertinya
tipuanku sudah menjalar diseluruh tubuhnya. “Iya ada, namanya Namirah. Dia
mahasiswi yang cerdas.” Obrolanku berlangsung cukup lama.
Kemarin si Asni bilang kalau
Namirah tinggal di rumah neneknya. “Jln. Andi Depu.” Begitu ucapnya. Ku
melangkah dengan kesungguhan, “ aku berjanji dalam waktu dekat aku akan
mendapatkan cintamu, bahkan juga menikmatimu”, begitu kalimat penyemangatku.
Aku dipersilahkan duduk oleh
seorang janda berumur sekitar enam puluh tahunan, “ Iya aku tinggal bersama
cucuku disini, Namirah. Dia lebih suka tinggal di sini. Dia tidak ingin tinggal
bersama orang tuanya, padahal tidak jauh rumahnya dari sini.” “Kenapa Nek.”
Tanyaku menyelidik. “ Iya, selama Namirah tau kalau ibunya selama ini
berpenghasilan dari uang bunga. awalnya Namirah sering mengingatkan orang
tuanya yang sudah menjanda sekitar se-windu. Tapi apa hendak dikata, orang tua
Namirah tetap pada pendiriannya, dia berdalih semenjak ditinggalkan suami tidak
ada lagi yang bisa menopang ekonomi keluarga dan itulah satu-satunya cara yang
dilakukannya agar kebutuhan yang selama ini menuntut dapat dipenuhinya. Karna
Namirah tidak ingin makan dan dibiyayai dengan uang haram maka Namirah tinggal
bersamaku di sini. Dia anak yang baik hingga saat ini untuk mencari uang kuliah
dan makan ia bekerja di sebuah fotocopy. “ jelas nenek Namirah.
Aku pulang dengan setumpuk
informasi mengenai Namirah, tapi kebaikannya tak menjadikan surut niatku untuk
meraih hatinya dan merusaknya. Patas saja Asni pernah mengatakan, “ kecantikan
dan kebaikan Namirah membuat Manusia dan Jin menginginkan untuk memilikinya.”
Aku hanya bisa tersenyum menjawabnya.
Ahirnya Namirah luluh
hatinya, setelah tiga minggu aku ber-pose sebagai malaikat didepannya berhasil
membuatnya menerimaku. Langkah pertama sudah berhasil. Tapi ada satu hal, aku
menginginkan lebih dari pada ini. “Aku ingin menyentuhnya dan …. “ keinginanku
sudah berada di ubun-ubun hanya menunggu waktu aja.
Suatu yang kebetulan, mala
mini Namirah ada mata kuliah. Setelah memaksa berkali-kali dia baru mengizinkan
aku untuk mengantarnya. Tak lama setelah menunggu Namirah pulang, aku ajak ia
untuk berkeliling mengitari indahnya kota manakarra ini. sepanjang pantai telah
berdiri tenda-tenda yang menyajikan berbagai makanan dan minuman. Aku dan Namirah memilih Café Nanda. Kupesan Es
Kelapa, ku ajak ia berbincang-bincang sebagai pengisi waktu. Setiap kata yang keluar
dari mulutku telah kutaburi rasa kepercayaan bahwa aku-lah cinta terahir
Namirah, akulah pendamping seumur hidupnya. Namirah hanya terdiam. Sudah satu
jam aku menikmati suguhan dan Indahnya
desiran suara ombak itu sudah membuatku puas. Ku ajak Namirah pulang.
Di teras rumah inilah aku
ingin beraksi, “Namirah sebentar lagi engkau akan merasakan betapa manisnya
surge dunia.” Gumamku. Ku ajak Namirah duduk di bangku. Aku mulai meraih kedua
tangannya. Anehnya Namirah tetap dalam kebisuannya. Ku buka perlahan kancing
bajunya. Dia juga diam. Ku coba untuk kecup keningnya, itung-itung sebagai
tanda kasih sayangku padanya, maklum selama berpacaran dengannya aku takk
pernah merasakannya. Baru sedetik aku tinggalkan kecupanku di keningnya.
“Plak…!!!”. Tangan lembutnya
berubah menjadi kerikil terjal yang mendarat di pipiku. Aku heran dan
kesakitan. “ Ada apa Namirah.” Tanyaku keheranan. “Pergi dari sini atau aku
akan berteriak.” “Tapi ada apa?” tanyaku masih tak mengerti. “Pergi….!!!”
Akupun segera meninggalkannya.
Minggu begitu cepat berlalu
dan bulan demi bulan juga mengikutinya. Tak pernah sedikitpun aku temukan
Namirah di kampus ini. kata teman karibnya, “Semenjak kuliah malam ia tak
pernah lagi terlihat di kampus ini.” begitu ucap Asni. “Namirah…!!!, dimanakah
dirimu berada..???.”
Ku datangi rumah neneknya,
Nenek Namirah keluar dengan mata bercucuran dan memegang secarik kertas katanya
jika aku datang kertas itu harus diserahkan padaku, ucap Namirah.
“ Kak…!” aku minta maaf…. Ini aku tulis dengan air mata
bercucuran…. Menanggung dosa yang telah aku lakukan. Aku tak bisa menjaga
kesucianku… aku sekarang adalah orang hina yang menanggung beban dosa… Kak
sudah bertahun-tahun aku jaga kesucian ini, berharap orang yang telah
di-halal-kan oleh Allah lah yang memilikinya. Namun tidak…. Ini salahku,
membiarkanmu dekat denganku. Ntah apa yang akan ku katakana nanti kepada
Rabb-ku.”
“ Kak… ber-Islam-lah…. Agar kakak mengerti betapa berartinya
kehormatan wanita…. “
“Senyum yang layu….”
Namirah
Tak terasa mataku di aliri oleh
cairan bening. “Lalu kemana perginya Nek..” “Ntahlah Nenek tidak tau…, hanya
ada satu keluarganya disini. Mungkin ke rumah bibinya”.
Setelah bertemu bibinya yang beralamatkan di Puncak,
ketika aku Tanya Namirah, ia hanya terdiam. Lalu ia melangkah ntah kemana, aku
mengikutinya. Ia berhenti sejenak. Ku baca papan nama yang berdiri di antara
jalan masuk “Pekuburan Islam”. Aku heran kenapa bibi membawaku kemari. Bibinya
Namirah pun melanjutkan langkahnya. Dia berdiri di sudut gundukan tanah yang ditaburi
bunga-bunga yang masih segar.. Tulangku serasa rontok, bibirku bergetar hebat
setelah aku lihat di kayu yang ditancapkan di atas gundukan tersebut, “Namirah
binti Abdullah.”
Namirah… maafkan aku…. Namirah… bangunlah… dan beri Maaf
diriku yang hina ini…. selalu aku ucapkan kata penyesalan itu. Ku berhenti
ketika dunia terasa gelap…. Dalam ketidak sadaranku… ku lihat Namirah tersenyu…
bagai bidadari… dikawal oleh beberapa
malaikat. “ Namirah….!!!”
Pelataran Masjid Raya Mamuju
“Masjid Suada’” 11:50 Wita
Senin, 03 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar