Minggu, 30 November 2014

Sepasang Petir di Kabut Asa 3 (Adik Kecilku)



            Sebelum pulang aku sempatkan bersama ria untuk jalan-jalan, tidak seperti hari pertama dia datang. Aku tumbukkan helm ke kepalaku sehingga muncul benjolan lumayan besar. Yah maklum banyak alasan,, Bukan itu sih sebenarnya. Sebelum dia menginjakkan kakinya di Mamuju.. aku sempat bercerita tentang PPL-3 di Makassar, banyak hal indah dan getir yang tak ku ceritakan. Menjelang ulang tahunnya, aku belikan dia Al-Qur-an yang lumayan harganya bagiku, sampai-sampai sebelum aku meninggalkan kota daeng, aku harus pinjam uang ke sepupuku Nhay.. dak papalah demi Cinta. Awal mula aku bahas Bunga-teman kuliah sejurusan dengan Ria. Dia cantik dan mengenakan jilbab.. sebenarnya dalam hatiku ini terbersit suatu harapan agar ria mengenakan jilbab. Namun yang di dapat bukan jawaban tapi wajah cemberut hingga ia sampai di Mamuju.
            Aku jalan-jalan dengan ria di Rumah adat, yah rumah adat kebanggaan Mamuju, dulu masih stinggi badan ilalangnya, namun sekarang, meskipun membayar retribusi tak mengapa asalkan indah dan terawat jua rumah adat kita. Aku diam, Ria tanya kenapa diam. Tidak ji, diam ku itu, beberapa hari ini cukup singkat, aku ingin bersamanya... terus menerus... aku ingin kebahagiaan ini tak pernah terputus... namun apalah daya, jarak memisah,,, aku pun harus tabah. Duduk berdua , hanya ada dua botol pulpy, yang menemani... sungguh indah...  aku ingin begini terus Ria... seperti ini... aku tak mau berpisah..
            Malam terahir pun aku dan teman-teman se-pa’ lolangan menemani dan menghibur bidadari-bidadarinya masing-masing.. ku habiskan waktu hingga larut di Asrama RSUD Mamuju, esok mereka akan pulang... tak ada yang lain yang kutakutkan, namun berubahnya rasa bahagiaku menjadi rasa sedih, ditemani menjadi sendiri dan dia akan datang masih dua bulan lagi.. maklum dia hanya sebatas konsultasi judul.
            Aku hampir telat, mungkin aku kelelahan tadi malam, hampir aku tak menyaksikan bidadariku pergi.. aku mandi, dan bergegas menuju Asrama markas para bidadari berada.. aku melihat tas dan koper rapi terletak disamping meja. Sambil melirik sana-sini ku panggil bidadariku, dia paling tau kalau aku memasang wajah sedikit cemberut yang terlontar dari bibir mungilnya pasti “kenapaki..?” sungguh perhatian yang sangat tentram ku dengar. Tanpa basa-basi kudaratkan bibirku ke pipinya.”Kita’ to... kalasi lagi.”. “ya kan mauki hehehehe” tawaku.. ya hanya itu tak lebih..
            Sembari menunggu mobil yang akan datang menjemput Ria dan temannya kami main kartu, yah itu pengisi waktu, sesekali aku membuatnya cemberut, bahkan hingga marah. Mungkin karna ini hari terahir untuk waktu yang lama lagi kami bertemu maka Ria sedikit membiarkanku. Sungguh indah memang jika berdua dengannya tak terasa waktu berjalan. Klakson mobil berbunyi, aku bergegas keluar men-ceck apakah benar mobil jemputan untuk kekasihku. Wah, ia. Benar sekali maka para pa’lolang tanpa basa-basi langsung membawakan masing-masing bawaan sang bidadari mereka.
            Tibalah kami berpisah, tak ada lagi kebersamaan hingga dua bulan ke depan. Sepi, terbersit lagi ingin melakukan hal-hal yang tak pernah kulakukan dengan Ria, entah mengapa dengan dia, cukup cium dan peluk saja, Itupun aku takut. Aku begitu menghormatinya, menjaganya kadang pula aku memberikan sedikit pesan agar dia menjaga kehormatannya.

Rabu, 15 Oktober 2014

Sepasang Petir di Kabut Asa (2)



Benerkan dia Ria, ya Allah aku sangat terpesona, cantik dan jelas di mataku. “Dari mana ?” tanyaku. “ Aku tadi dari Wono temani ibu desa”... aku hanya terperangah... aku keheranan, bidadari yang lugu, sederhana nan polos.... kini menjelma menjadi bidadari asli turun dari kahyangan... tas yang dipegang mewah, baju yang dikenakan indah... inikah Ria-ku... ucapku ingin meyakinkan.

            “Dari mana..???” “sebenarnya kemarin mau ke Makassar. Tapi aku sedkit tak enak badan, ahirnya ku putuskan untuk bermalam di Polewali dan temanku melanjutkan perjalanannya ditamani dengan temannya dari polewali. Sengaja saya ingin mengunjungi teman-teman KKN dan termasuk kamu cintaku... heheheh.” Kulihat seburat senyum di bibirnya.

            Ahirnya setelah Ria minta izin ke orang tuanya bahwa aku ingin berkunjung ke rumahnya. Kami berangkat bersama layaknya sepasang kekasih yang ingin menuju ke rumah mertua dengan bermodalkan wajah dan kepercayaan. Dengan pete’-pete’ (jika di kota besar disebut angkot) melaju dengan perlahan. Aku tak sabar ingin tau dimana asal kekasihku, tempat seperti apa yang bisa menciptakan wanita setangguh kekasihku.

            Sepanjang perjalanan banyak keluar-masuk penumpang mulai dari anak sekolah hingga ibu-ibu pulang-pergi ke pasar. Setiap yang turun memberinya uang 1000 hingga 3000 rupiah. Murah sangat. Jika di Mamuju ini tak cukup untuk membayar ojek. Atau mungkin aku yang tidak pernah naik pete’-pete’. Kuhanyutkan pikiranku dengan memandangi kekasihku yang duduk tepat di depanku. “masih lama...???” tanyaku... iya, inipun kita harus sambung pete’-pete’ 1 kali. Wah jauh juga... gumamku.

Minggu, 13 April 2014

Sepasang Petir di Kabut Asa (1)

Gimana yach memulainya, penulis jadi bingung, kisah muda memang kisah unik, tak ada yang mampu membuat sesuai dengan apa yang dia minta karna kisah muda bukan kisah yang diada-ada. Sosok pemuda sebut saja Aris mengisahkan kisahnya padaku dan setelah menimbang, mengukur dan bla-bla-bla-bla,,,, ahirnya jadilah kisah yang akan menjadi pelajaran hidup bagi kita semua. Kisah ini gue kasi title “ Sepasang Petir di Kabut Asa”. Simak meki taaabe’....:

            “ Witteng tresno jalaran soko kulino “ itulah satu kalimat yang sering diucapkan eyang dulu. Katanya sih kalo bahasa moderennya “berseminya cinta itu karena keseringan” aku juga masih belum paham. Jujur bapak orang jawa, mama lahir di palopo sedangkan aku lahir di salogatta, jadi aku bisa buat suku baru JAPASAL dari pada ribet semuanyakan sudah mewakili nama tempat kelahiran masing-masing, tapi karna ribet ahirnya lebih disingkatin aja jadi JAWA SOLO, kok gitu??? Pasti kalian juga bingung... semua pertanyaansama  yang diajukan orang-orang. Solo-nya mana? Jawabnya cuman satu SOLOWESI. Hehehehe.

            Dari kata almarhum eyang-ku, aku sih tidak percaya. Apa ada cowok sepertiku bisa jatuh cinta?. Aku sudah tidak percaya sama wanita itu semenjak aku pacaran sama AMI, Ami suka gue, gue suka ami. Tapi mama ami tak suka gue sama halnya mama gue tak suka ami jadi gile.... brabe deh urusannye ye..... ke-