Benerkan
dia Ria, ya Allah aku sangat terpesona, cantik dan jelas di mataku. “Dari mana
?” tanyaku. “ Aku tadi dari Wono temani ibu desa”... aku hanya terperangah...
aku keheranan, bidadari yang lugu, sederhana nan polos.... kini menjelma
menjadi bidadari asli turun dari kahyangan... tas yang dipegang mewah, baju
yang dikenakan indah... inikah Ria-ku... ucapku ingin meyakinkan.
“Dari mana..???” “sebenarnya kemarin
mau ke Makassar. Tapi aku sedkit tak enak badan, ahirnya ku putuskan untuk
bermalam di Polewali dan temanku melanjutkan perjalanannya ditamani dengan
temannya dari polewali. Sengaja saya ingin mengunjungi teman-teman KKN dan
termasuk kamu cintaku... heheheh.” Kulihat seburat senyum di bibirnya.
Ahirnya setelah Ria minta izin ke
orang tuanya bahwa aku ingin berkunjung ke rumahnya. Kami berangkat bersama
layaknya sepasang kekasih yang ingin menuju ke rumah mertua dengan bermodalkan
wajah dan kepercayaan. Dengan pete’-pete’ (jika di kota besar disebut
angkot) melaju dengan perlahan. Aku tak sabar ingin tau dimana asal kekasihku,
tempat seperti apa yang bisa menciptakan wanita setangguh kekasihku.
Sepanjang perjalanan banyak
keluar-masuk penumpang mulai dari anak sekolah hingga ibu-ibu pulang-pergi ke
pasar. Setiap yang turun memberinya uang 1000 hingga 3000 rupiah. Murah sangat.
Jika di Mamuju ini tak cukup untuk membayar ojek. Atau mungkin aku yang tidak
pernah naik pete’-pete’. Kuhanyutkan pikiranku dengan memandangi kekasihku yang
duduk tepat di depanku. “masih lama...???” tanyaku... iya, inipun kita harus
sambung pete’-pete’ 1 kali. Wah jauh juga... gumamku.
Sampailah kami di pertigaan, kami
berhenti. Menunggu pete’-pete’ hingga penuh dan sopir pun akan mengantarkan
kami ke pelosok desa tempat kekasihku dilahirkan. Tak lama kami dipanggil dan
dipersilahkan masuk. Saat ini jalan yang kulalui tak sama. Mungkin sebabnya
adalah tadi jalan yeng menghubungkan provinsi-jadi mulus dan rapi. Namun lain
halnya dengan jalan yang sementara kulalui. Lubang dimana-mana, hingga membuat
mobil yang aku naiki tergoncang. Perutku terasa mual, mual dan ingin muntah.
Aku pindah di pintu masuk, agar aku terkena angin terus-menerus.
Disepanjang perjalanan pulang aku
selalu menanyakan hal yang sama kepada kekasihku, “Masih jauh...???” “Sebentar
lagi, sabar..” jawabnya sambil meyakinkan. Aku semakin tak kuat, inilah
kelemahanku jika naik kendaraan roda empat penyakit mabok tak pernah kunjung
berhenti, namun aku bersyukur wajah ceria pacarku sangat menenangkan apalagi
candaan kepada mereka teman-temannya, membuat aku semakin tegar.
Sampailah aku di desa tempat
kelahiran kekasihku, aku turun dari pete-pete berdua menyusuri lorong-lorong
rumah yang membuatku kagum ialah meskipun pelosok namun banyak rumah berjejeran
di desa ini. Aku masuk dengan yakin, kujumpai sosok paruh baya yang lembut nan
kuat sibuk mengupas kemiri mempersilahkanku masuk itulah ibunya Ria. “Masukki’
nak...” jelas inilah wajah Ibu yang telah mendidik bidadariku menjadi sosok
yang begitu istimewa buatku. Tak lama Ria membawakan secangkir teh dan cemilan
buatannya, layaknya telah menjadi pendampingku, (PD sangat ya Ris, hehehehe
semua tamu pasti disambut seperti itu.. Yach komen lagi... lanjut nulisnya
Bang). Hari menjelang sore, aku dipersilahkan pulang oleh bidadariku dengan
alasan susah mencari kendaraan menuju polewali kalo sudah sore begini, yach
mungkin tak seperti aktivitas yang kebanyakan di kota besar angkot operasi
hampir dua puluh empat jam. Aku pun diantar oleh sepupunya.
Sepanjang perjalanan aku kagum
dengan masjid-masjid yang megah nan mewah ini merupakan cerminan bahwa suku
Mandar ta’at dan kompak dalam masalah mengutamakan ahirat seperti kebanyakan
suku lain. Tibalah di Polewali hampir saja aku tersesat. Tapi alhamdulillah aku
masih sedikit ingat jalan meskipun dipoles dengan gemerlapnya lampu jalanan.
Ku lelapkan mata sambil kubayangkan
sosok bidadariku yang telah menemaniku sepanjang hari dengan terasa heran.
“sungguh cantik “ gumamku. Aku bahkan tak menyangka bisa mendapatkan seorang
pacar seperti dia, jika melihat diriku ini, hitam, kumal bahkan dekil.
Pagi hari tibalah temanku dari kota
Makassar, aku pun pulang. Sepanjang perjalanan hanya diisi dengan ngobrol,
godain cewek, dan hal-hal yang bisa menjadi hiburan di lelahnya perjalanan.
Mungkin sekitar dua bulan hubungan
ku dengan dia bidadariku masih berjalan, dari sepanjang hari telponan bahkan
berjam-jam, istilahnya “jika tentang cinta cicak mati pun bisa menjadi bahan
bicara” mengherankan.
“Chyang aku besok akan ke situ
(mamuju), mau urus proposal judul”. Membaca SMS-nya aku sangat bahagia, aku
bisa menghabiskan waktu sepanjang hari bersamanya. Samalah dengan diriku, tidak
terasa aku dan dia sudah menuju ke penyelesaian Study, aku juga bersiap diri.
Dia datang dengan dua temannya, Mia
dan Ira. Karena Mia ada kakak kandungnya di Mamuju maka mereka bertiga tinggal
bersama kakaknya di Asrama Rumah Sakit Umum Mamuju (RSUD). Waktu seminggu itu
saya manfaatkan dengan baik, terbukti hampir setiap malam tak ada waktu yang
tertinggal selain kebersamaan. Dua temannya itu juga telah memiliki pacar, Alim
pacarnya Mia dan A’mal Pacarnya Ira. Yah karna seringnya kami bersama mereka
maka kami mendapat julukan pa’lolang dari kakaknya Mia.
“Nert bisaki antar Ria ke pak Jamal
(dosen pembimbing).” Begitu smsnya Mia kuterima. “Iyya bisa, kapan..??” jwabku.
Kesini maki adami Alim sama A’mal menunggu.” “Siap... Kesituka”. Aku sangat
suka mengantar Ria, bagiku perjalanan itu sangat menyenangkan jika kulaului
bersamanya. Bagaimana tidak hampir seharian aku bersamanya. Meskipun aku harus
menunggu ketika mereka sementara konsultasi proposal judul-nya yang begitu
memakan waktu.
“Eh... kenapa ini ada salah masuk,
???” candaan Ibu Nurul dosen pembimbingku dulu ketika PPL 2 di MAN yang tidak
lain dosen pembimbimbing mereka. Maklum Ibu dosen mengatakan seperti itu karna
hanya saya yang jurusan bahasa inggris sedangkan mereka jurusan bahasa
indonesia. “Iyye memang suka sekali itu bu salah masuk... “ sepontan jawab Ria
yang mengundang tawa seisi ruang tamu di rumah Ibu Nurul.
Bagi mahasiswa saat yang sulit ketika penyelesaian itu
bukan di penyusunan sekripsi, namun di dosen yang jarang berada di rumahnya.
Yah mungkin hanya di kampusku saja seperti itu. Maklum hampir semua dosen
kebanyakan dikuliahkan untuk mengambil S.2 dan S.3 program doktor, peningkatan
mutu pendidik, yang tadinya mereka hanya seminggu saja mengurus skripsi bisa
molor sampai seminggu lagi, tapi bagiku itu menyenangkan. Aku ingin Ria lama di
Mamuju bahkan jangan pulang, kangen terus dibuatnya meski udah dekat, (penulis
mlongo liat ekspresi Aris).
Ketika selesai konsul biasanya kami singgah ke tempat
kostnya Alim ya disinilah kami menghabiskan waktu bersama, cerita, masak dan
makan bersama. Kurasakan layaknya keluarga besar, ingin seperti ini terus.
Kadang aku lupa waktu, dan lupa ternyata aku pun sementera menyusun. Namun
entah apa, bagiku kebersamaan bersama Ria sangat penting kurasa. Aku ingin
menjadi layaknya pacar yang siap membantu kapanpun dan dimanapun berada.
“Mungkin itulah yang dinamakan CINTA, cinta adalah kebahagiaan bagiku.. dan
atas dasar itu aku rela mengorbankan segalanya.”
Malam itu ria sangat murung, entah apa yang menjadi
penyebabnya.. (kenapa Ris,... lanjut ngetik bang,,, biar tau) aku sangat rindu
sekali, aku ingin menemuinya, namun Ria menolak, bahkan dia tak mau sedetik pun
menghabiskan waktu bersamaku, aku hanya bisa pulang pulang dengan menarik gas
motor sekencangnya... (gak takut jatuh Ris....???) Selidik punya selidik ria ngambek karna
pulangnya diulur,
Tak lama Pesan singkat Mia masuk ke hp-ku, “Ris bisa antar
Ria ke pasar..???” “Siap Boss” jawabku secepat kilat aku juga menancap gas
motor, ku liat Ria masih mengenakan baju tidurnya, “ dak papa ji ku pake baju
tidur ini..??” “dak papa ji..” aku jawab sekenanya, aku hanya ingin bangga
kepada orang-orang yang melihatnya, bahwa aku pun bisa membawa bidadariku yang
tampil apa adanya, meskipun pesek, namun aku tak bosan menatapnya terus
menerus. Pagi itu jadilah aku belanja di pasar lama layaknya sepasang keluarga.
Ria tampak istimewa ketikan mampu menjadi layaknya ibu. Sungguh aku beruntung..
Aku memang telah jatuh cinta dengan Ria, namun aku belum
percaya cinta dengan seutuhnya, meskipun aku berusa menunjukkan rasaku
kepadanya. Sebelum kedatangan ria ke mamuju aku pun telah menjalin hubungan
kepada Ayu, Ayu merupakan mantan murid PPL-2 ku, ya hanya sekedar telpon jika
sedang butuh suatu hiburan, ya maklum lah jarak jauh memang banyak cobaan, dan
aku pun belum tau pula apakah Ria benar-benar serius padaku-aku masih ragu.
Ketika ke belakang buang air kecil sebentar, aku kembali
dengan santai. Namun nampak senyum bidadariku layu, layu bagaikan putri malu
yang telah tersentuh tangan-tangan jail.. “Kenapa..???” “Ah, tidak ji...” “Ternyata
laki-laki sama saja di’ ??” sahut Mia... “apa maksudnya..???” Aku liat pesan masuk
dan keluarku telah kosong, bahkan konsep pun ikut raib, nomor hp-ria pun sudah
di hapus. Dia marah.. melihat sms-nya Ayu, akan ku jelaskan namun itu tak
mudah. Argumenku seolah mentah jika berbicara dengannya. Pulang maki... aku tak
mau dan aku tetap bertahan..
“Sore itu ketika ingin pulang, aku mau diantar alim aja
... Mia” celoteh ria. Jangan biar aku antar... jangan mi puang maki’...
(makanya jangan selingkuh Ris... duh mas Bro... lnjut aja ngetiknya..) ah...
tidak pokonya ku antarki’... tepat di pinggir jalan aku berteriak, Ria... kalo
gak mauki saya antar kutabrakkan ini motor ke pagar.. kebetulan tak lebih
dupuluh meteran ada pagar besi. Teriakan pertama masih tak mau, ke dua pun tak
mau hinga ke tiga.. dan motorku ku gas kencang... “Iyya, iyya naikka...
janganki begitu... tampak sebutir air mata menetes di mata kirinya”. Aku agak
sedikit lega Ria mau ku antar pulang... (ekstrim Ris caramu,,,) Yah begitulah
usahaku... aku sangat mencintainya, apapun kulakukan demi bersamanya... (Duh,
udah lama vacum nich... maaf yach... Kabut Asap Sesion 3 akan lanjut lagi...
sabar ya... Biar si Aris ingat-ingat dulu kisahnya... maklum sudah lama...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar