Rabu, 15 Oktober 2014

Sepasang Petir di Kabut Asa (2)



Benerkan dia Ria, ya Allah aku sangat terpesona, cantik dan jelas di mataku. “Dari mana ?” tanyaku. “ Aku tadi dari Wono temani ibu desa”... aku hanya terperangah... aku keheranan, bidadari yang lugu, sederhana nan polos.... kini menjelma menjadi bidadari asli turun dari kahyangan... tas yang dipegang mewah, baju yang dikenakan indah... inikah Ria-ku... ucapku ingin meyakinkan.

            “Dari mana..???” “sebenarnya kemarin mau ke Makassar. Tapi aku sedkit tak enak badan, ahirnya ku putuskan untuk bermalam di Polewali dan temanku melanjutkan perjalanannya ditamani dengan temannya dari polewali. Sengaja saya ingin mengunjungi teman-teman KKN dan termasuk kamu cintaku... heheheh.” Kulihat seburat senyum di bibirnya.

            Ahirnya setelah Ria minta izin ke orang tuanya bahwa aku ingin berkunjung ke rumahnya. Kami berangkat bersama layaknya sepasang kekasih yang ingin menuju ke rumah mertua dengan bermodalkan wajah dan kepercayaan. Dengan pete’-pete’ (jika di kota besar disebut angkot) melaju dengan perlahan. Aku tak sabar ingin tau dimana asal kekasihku, tempat seperti apa yang bisa menciptakan wanita setangguh kekasihku.

            Sepanjang perjalanan banyak keluar-masuk penumpang mulai dari anak sekolah hingga ibu-ibu pulang-pergi ke pasar. Setiap yang turun memberinya uang 1000 hingga 3000 rupiah. Murah sangat. Jika di Mamuju ini tak cukup untuk membayar ojek. Atau mungkin aku yang tidak pernah naik pete’-pete’. Kuhanyutkan pikiranku dengan memandangi kekasihku yang duduk tepat di depanku. “masih lama...???” tanyaku... iya, inipun kita harus sambung pete’-pete’ 1 kali. Wah jauh juga... gumamku.