Senin, 16 April 2012

Kado Untuk Adik


Kado untuk Adik
Oleh : Asri El Barca


          Aku masih begitu rumit memikirkan jalan keluar dari masalah yang menimpa keluargaku. Apa yang bisa aku lakukan, padahal sebelumnya keluargaku sangat bahagia, bagaimana tidak. Aku telah mendapatkan gadis impianku, sudah hampir empat tahun aku mengusahakan untuk mendapatkannya.
            Dia adalah Anna, teman kuliahku. Aku tak begitu yakin untuk mengungkapkan isi hatiku yang sesungguhnya. Karna sifat yang tak menentunya itulah ketakutanku untuk menyatakan cintaku meleleh. Namun impianku untuk mendapatkan dirinya sangat besar. Hingga aku tak berputus asa untuk memberikan sesuatu yang dapat membantunya.
            Semester pertama, Anna memintaku untuk pergi bersama dalam rapat kerja Himpunan Mahasiswa Program Studi atau biasa disebut HMPS. Aku pun meng-iyakan, dari pada berangkat naik motor sendiri mendingan berdua pikirku. Karna semua teman-temanku naik mobil kecuali yang memiliki motor. Perjalanan sepanjang 30 Kilo meter itulah yang memberikan benih-benih cinta tersendiri. Benih-benih cinta makin subur, aku sangat yakin bahwa dirinya adalah jodohku. Bukan hal yang wajar, jika beberapa kali diriku memimpikannya.
            Mengenai mimpi, entah kenapa. Malam itu setelah selesai mengikuti mata kulih aku pulang dengan mengendarai motor kesayanganku, baru beberapa meter aku meninggalkan kampus. Wajahku memerah, darahku mendidih, dan debaran jantungku mengguncang setelah melihat Anna dibonceng lelaki. Entah itu sepupunya atau siapa. Aku tak ingin begitu lama berada dibelakang kendaraan yang dinaiki oleh Anna dan Lelaki misterius itu. Langsung aku tancap gas. Kegeramanku itu tak kunjung berhenti, lalu aku ambil puluhan ribu uang di dompet untuk membeli nasi goreng porsi jumbo.  Tanpa berpikir panjang aku langsung melahapnya sampai habis, itulah versi pelampiasan marahku.

            Aku berfikir keras, dan malam itu pula aku berkesimpulan “ Kesalahan terbesar adalah kesalahan dimana aku mencintai sesuatu yang belum menjadi milikku “ malam itu pula ikrarku tak akan memikirkan dia lagi. Maka hatiku mulai tenang.  Tak sengaja aku berjalan di samping ruangan yang selalu aku tempati untuk kuliah, namun ruang itu lengang dan hanya ada Anna di dalam ruang itu, aku sudah berjanji untuk tidak memikirkan dia lagi. Hingga saat itu pula aku ingin melanjutkan langkahku namun sebelum itu secara refleks aku menoleh di tempat Anna duduk tadi,  aku kaget aku tak bisa berucap apa-apa. Aku melihat Anna di ganngu oleh empat cowok. ” Anna…..!!!” teriakku, aku terbangun. Dari mimpi tersebutlah aku kembali yakin bahwa dia jodohku.
            Semester lima, semester yang kacau bagiku. Itu terjadi karna kedua orangtuaku terlambat untuk mengirimkan uang dari kampung. Sedangkan gaji bulananku menjadi marketing di salah satu perusahaan terbesar di mamuju belum terbayarkan. Hal itu aku anggap hal sepele, namun ternyata dampaknya besar. Selesai kegiatan Pembekalan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL 1) aku kaget ternyata sebagian persyaratan untuk mengikuti PPL tersebut terkendala. Kepalaku hampir pecah, namun wajah teduh Anna selalu membuatku segar seolah tak terjadi apa-apa. Ia seolah begitu dekat denganku, atau mungkin Anna berdecak kagum setelah melihatku tampil membawakan do’a di acara Pembekalan PPL 1 tadi yang dihadiri hampir seluruh punggawa kampus. Senyumku pecah.
            Wisuda, empat tahun tak begitu terasa bagiku dan teman-temanku untuk meraih ilmu dan S1. Setelah acara wisuda selesai, lontaran kata dari Anna menyambutku “ Selamat yah…??? Setelah ini lanjut dimana? Kerja atau kuliah lagi?” “ Aku juga mengucapkan selamat padamu, Sarjana ini adalah kesyukuran tersendiri yang harus kita ucapkan  kepada Allah SWT, kalo lanjut aku belum tau pasti. Ini aja masih memprogramkan calon Ibu rumah tangga.. “ kataku sambil mringis….. “ Gimana sudah dapat…??” katanya sambil melotot.  “Udah ..” spontan saja keluar dari mulutku, hingga wajah Anna memerah. “ Siapa..?” tanyanya serius. “ Kamu An….” Ia hanya diam, sambil tersenyum.
            Semenjak senyuman kecil itulah yang memaksaku mendatangi rumah Anna, aku berharap dari senyuman kecil itu dapat menumbuhkan sedikit kepastian tentang perasaannya . tiba di rumah pak Mahmud . “ Eh… Nak Iful. Masuk nak…?” begitu biasa orang tua Anna memanggilku. “ Kok tumben baru datang… dah lama ya dak ke sini.?” Tanya beliau. “Iya lagi sibuk urus bisnis kecil-kecilan Pak..” “ Wah… bisnis apa..?” “Buka toko computer dan accessories-nya.” “Wah… itu bukan kecil-kecilan tapi besar.. “ tiba-tiba Ibu Hasni menyahut, Ibu Anna.  Setelah ngobrol kesana-kemari aku mulai membuka obrolan serius. “Bapak… Ibu… sebenarnya nanda kemari selain bersilaturahmi ada hal lain juga.” Ku lirik kedua orang tua Anna Nampak serius memperhatikanku. “Sebenarnya Nanda Ingin melamar Anna.” Ucapku singkat namun pasti.  “ Nak… kami sebagai orangtuanya setuju-setuju saja, namun keputusan mutlak itu ada pada Anna.” Ayah Anna menyahut. “ Namun saat ini Anna sedang mengajar di desa terpencil, Desa Rawa Indah. “ kata Ibu Anna, sambil meneteskan cairan bening di sudut matanya.
            Aku pulang dengan tangan hampa, kapan aku bisa menemui Anna ? untuk menuju kesana mobil, motor ataupun sepeda tak bisa menjadi alat bantu sedikitpun. Menuju ke Desa Rawa Indah harus menyebrang tiga sungai dan dua gunung. “Ya Allah… berilah aku kekuatan dan tetapkanlah Anna menjadi pendamping dunia-akhiratku.” Do’a ku dengan nada memelas.
            Tanpa berpikir panjang, aku menyiapkan perbekalan. Setelah menganggap semua beres aku kendarai motorku. Otakku penuh dengan wajah Anna, bayang-bayangnya, senyum dan langkah kakinya. Tiba di kediaman orang tua Anna, ku titipkan motor, dan ku lanjutkan langkahku menuju tempat Anna mengajar. “ Pak, masih jauh…?” entah sudah berapa kali aku tanyakan kepada pengemudi sampan itu. “Masih jauh.” Jawaban yang tak berubah. “ An… bisanya… dirimu terdampar di pelosok seperti ini…? Apa yang kau pikirkan..? dan Apa yang sebenarnya kau inginkan An…?” tanyaku dalam hati. Akhirnya… mataku sedikit-demi sedikit terasa gelap, dan aku tak ingat apa-apa.
            Aku kaget, Anna duduk di samping bangunan reot… yang sengaja didesain menjadi kelas. Anna hanya tersenyum melihatku, dan ia mulai melanjutkan mengajarnya. Ku lihat disekelilingku. Rumah…. Jaraknya begitu sangat jauh dengan rumah lain, hampir lima ratus meter… Aneh… setelah pandanganku kembali menatap wajah teduh Anna… Aku sangat kaget, Anna yang tadinya ceria sekarang murung dan menangis…… tetesan air matanya sangat deras… dan tiba-tiba ia meraung….. “Ah…………!!!” aku hanya bisa memanggil-manggilnya… namun mulutku serasa terkunci… “Pak…. Pak….. Bangun…” segera aku terbangun. “Pak… sudah sampai…. “ kata pengemudi sampan tadi meyakinkan. Aku hanya menemukan pepohonan… dan rawa-rawa kecil.
            “Pak… langsung aja…. Jalan lurus……. Ntar pasti nemu perkampungan kecil.” Kata pembawa sampan tadi yang berumur lebih muda dariku. Aku hanya mengiyakan setelah memberi ongkos tadi.  Tak begitu lama aku berjalan ku temukan perumahan-perumahan sederhana. Setelah Tanya kesana-kemari baru aku dapatkan alamat Anna.
            “Asalamu’alaikum… !!!” sapaku dari luar rumah mungil, “Wa’alaikum salam… Nak… silakan masuk..” sapa wanita , dan aku yakin itu adalah bude-nya Anna. “Wah… Nanda dari mana…? “ langsung aku ceritakan panjang-lebar keinginanku untuk meminang Anna. Ternyata respon bude dan pakdenya Anna sama seperti Ayah dan Ibu Anna.
            Asyik ngobrol…. Tiba-tiba ada salam lembut dari balik pintu. “Asalamu’alaikum..” “Wa’alaikum salam..” jawab kami bertiga kompak. Langkah lembut, wajah teduh… hadir di depankku… inilah pertemuan pertamaku setelah diwisuda tiga tahun yang lalu… aku tak bisa berucap…. Ternyata kedua pipiku basah…. Aku tak sadar ini tangisan apa…. Bahagia, rindu atau sedih….??? Akupun melihat wajah yang sama pada wajah teduh Anna… serentak kami ber-empat meneteskan air mata… “ Kak…..!” begitu singkat ucap Anna, lalu pergi ke kamar. Aku masih tak sadar…
            Setelah sejam menunggu, Anna pun keluar rumah… aku mengikutinya. Entah kemana aku dibawanya… Anna terhenti setelah kami sampai pada dua pohon kelapa yang sangat indah.. “serasi…” ucapku. Di sampingnya terdapat rawa…. Luas… dan bukit-bukit kecil yang membatasinya. Kamipun duduk berdua, ber-alaskan blarak “daun kelapa kering”.
            “Kak…. Kenapa baru datang…. ?” ucap Anna membuka obrolan. “Maksudmu..?” aku hanya menjawab dingin. “Kak.. tidakkah kau tau… semenjak wisuda tiga tahun yang lalu.. aku berharap, kakak langsung mendatangiku, meminangku.” Degupan jantungku tersentak..  aku hanya diam, dan sedikit kutatap wajah Anna.. muncul butiran bening dari sudut matanya. “ Aku kira kakak serius, mengatakan bahwa akulah orang yang Kakak akan nikahi, namun…. Tidak.” Sesekali Anna… menyeka air matanya. “ Semenjak itu aku putuskan untuk berhenti memikir kamu, dan semenjak itu pula Bude datang ke rumah dan memintaku untuk datang kesini untk membantu mengajar,.. dan kakak tau…? Di tempat inilah, aku selalu menghabiskan waktu untuk menunggu seorang yang pernah berucap untuk menikahiku, orang itu adalah kamu Kak. Aku juga selalu membayangkan… Pohon kelapa inilah gambaran kita berdua, yang selalu bersama, memiliki cinta yang kokoh… Namun…” aku mulai meraih tangan Anna… “ An… maafkan aku, bukannya aku tak ingin menikahimu waktu itu, aku hanya belum siap saja. An… meskipun ini mungkin terlambat, namun aku berharap kamu masih membukakan pintu hatimu padaku An… An…. Aku ingin kamu menjadi pendamping hidupku dunia-akhirat, menjadi ibu dari anak-anakku nanti..” ku eratkan genggaman tanganku seolah tak ingin lepas lagi.
            Semenjak itulah Anna ku nikahi, dan kuboyong tinggal serumah dengan kedua orangtuaku dan adik perempuanku. Namun pernikahan yang baru setahun itu saat ini retak. Padahal kebahagiaan, sangat kami rasakan sebelumnya. “Aneh..” begitu ucapku, bagaimana tidak,setiap aku  pulang dari toko computer yang aku rilis tahun lalu ia selalu ucapkan kata-kata cerai. Aku selalu menanyakan apa masalahnya, namun Anna hanya ingin cerai.
            Resmi, aku menyandang sarjana duda. Begitu kata Adik kandungku Neni. “ Kak, sekarang aku lega… tidak ada lagi yang mengganggu kebahagiaan kita bersama.” Spontan kata-kata itu keluar darinya. “Maksudmu..?” tanyaku menyelidik. “Iya, aku senang jika istrimu itu tak ada disini. “ jawabnya judes. “Terus apa masalahnya kalo istriku ada disini..?” tanyaku lagi dengan nada marah. “ Pokoknya aku tidak mau ada orang lain disini..!” begitu jawabnya sambil berlari ke kamarnya.
            Aku langsung mengorek informasi dari kedua orangtuaku, namun beliau berdua tak mengerti. Apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh Adikku kepada Istriku..? aku masih tak menemukan ujung pertanyaan tersebut.
            “Kring……” bunyi nada panggilan masuk HP-ku, “Nak… Nak… Ka..mu… ce..cepat datang ke rumah sekarang.” Ucap bapak tadi . itu adalah bapak Anna, meskipun kami telah bercerai namun hubungan kekeluargaan tetap terjaga. Langsung saja aku kendarai motor kesayanganku semasa Mahasiswa dulu sampai sekarang, di perjalanan aku hanya bisa menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.
            Tiba di rumah Anna, aku tertegun. Kudapati rumah Anna ramai sekali tak seperti biasanya. Apakah Anna akan menikah lagi.? Begitu cepat ia menikah, atau itu alasannya minta cerai padaku..?  mataku terbelalak ketika kudapati bendera putih di sudut rumah Anna. Aku masih tak begitu yakin,  aku langkahkan kaki dengan perlahan memasuki rumah Anna, ku dengar alunan bacaan Surah Yasin. Aku masih tak percaya. Namun aku tak bisa berkedip lagi mendapati jasad yang aku kenali selama ini dibaringkan di dipan. Otot dan tulangku serasa telah terhantam barang berbobot tiga Ton. Detik itu hanya gelap yang ku lihat.
            “Nak… Bangun…!!!” setelah istirahat beberapa jam. Aku didatangi kedua orang tua Almarhumah Anna. “Nak, ini ada surat tergeletak di samping jasad Anna ketika baru ditemukan. Nak… sabar… ya… Anna mati mengidap kangker kronis dalam tubuhnya.” Aku mulai baca surat tersebut.

Teruntuk Kakanda yang kucintai sepenuh Hati..

            Kak… Sebenarnya cintaku kepada Kakak tiada tara, tak bisa diukur dengan banyaknya air di samudra. Tak bisa ditimbang dengan banyak gunung-gunung dan lautan…. Kak… sebelum Kakak baca semua isi surat ini, Kakak harus janji tidak akan marah atau dendam kepada Adik kandungmu Neni. Janji ya…..
            Kak, aku senang telah memiliki suami sepertimu. Kak, ada satu hal kenapa aku meminta cerai padamu. Itu semua karna Adikmu- Neni. Selama setahun setelah Kakak, Ibu dan Ayah kakak pergi bekerja, Neni selalu beraksi. Kadang ia bawa temannya untuk menjambak, memukul, mencubit bahkan menendangku. Aku kadang berusaha melawan, namun apa daya tubuh kecilku jika disandingkan dengan tubuh besar Adikmu dan teman-teman adikmu.
            Kak… sebenarnya adikmu sayang padamu. Meskipun ia baru lulus SMA namun ia berani menendangku demi meraih kembali kasih-sayang kakak kandungnya seperti dahulu. Namun semenjak menikah, kasih sayang itu seolah-olah telah tersabotase olehku. Kakak pasti tidak ingat tanggal 11 November ini kan..? ini adalah ulang tahun Adekmu yang ke 19. “Semenjak Kakakku punya istri kamu, Kakakku jadi lupa dengan kado ultahku.” Itu kata adikmu.
            Kak… rasa sayangku masih begitu kuat padamu. Kak… jika kita tak begitu bahagia di dunia ini… Aku harap, nanti kita punya dunia tersendiri di alam sana… salam manis mengalahkan madu, salam sayang mengalahkan bulan benderang itu semua tertuju padamu… dariku… Cintamu…
Ditulis dengan tetesan air mata dan sayatan hati

Anna

            Setelah itu aku langsung pulang, ntah apa yang harus ku perbuat. Memang watak adikku sangat keras… pikirku masih buram.. dan tanpa berpikir panjang ku tenggak sebotol obat nyamuk cair isi ulang yang ada dalam botol di tangan. Sebelum itu telah aku tuliskan satu kalimat di kertas untuk adikku. “Kado ultahmu adalah nyawaku dan nyawa istriku”. Baru sekitar lima menit aku tenggak racun tersebut… remang-remang kudengar suara yang tak karuan. Tenang…… menyapa. Kulihat Anna melambaikan tangan memanggilku, aku terhenyak ada Anna yang lain yang lebih rapi dan cantik menunjuk-nunjukku, dengan ekspresi marah.
            Sedikit-demi sedikit mataku melihat cahaya mentari pagi, di sampingku Neni adik kandungku. Di bawah samping kanan ranjang Ayah dan Ibuku di sudut lelaki dan wanita yang tak asing – kedua orang tua Anna.
            Adikku terbangun, “ Kak… maafkan aku. Yang telah menyakiti istrimu.. Kak aku tak menuntut kado lagi, aku baru sadar kado sepecial itu adalah kakak. Aku sangat egois selalu mementingkan kebahagiaanku, tanpa memberikan ruang tersendiri buat kakak.” Aku masih enggan berbicara… hanya tanganku meng-elus-elus rambut adikku itulah jawabanku.
            Kesedihan masih menyelimutiku, aku juga mulai tersadar yang kulakukan tadi adalah hal yang bodoh, mendahului takdir. Sekilas teringat surat Anna. ”Kak… jika kita tak begitu bahagia di dunia ini… Aku harap, nanti kita punya dunia tersendiri di alam sana…” tak berapa lama mataku tertuju pada sosok teduh… ia tersenyum… seolah meyakinkanku akan dunia tersendiri yang akan aku tempati dengannya…. Bayang itupun sedikit demi sedikit menghilang…. “Aku masih menanti dengan sabar… seperti cintamu padaku An….” Begitu ucapku.
Mamuju, Jum’at 11-11-2011
Meraba masa depan, di Kost tercinta
           
           
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar