Kado
untuk Adik
Oleh :
Asri El Barca
Aku
masih begitu rumit memikirkan jalan keluar dari masalah yang menimpa
keluargaku. Apa yang bisa aku lakukan, padahal sebelumnya keluargaku sangat
bahagia, bagaimana tidak. Aku telah mendapatkan gadis impianku, sudah hampir
empat tahun aku mengusahakan untuk mendapatkannya.
Dia adalah Anna, teman kuliahku. Aku
tak begitu yakin untuk mengungkapkan isi hatiku yang sesungguhnya. Karna sifat
yang tak menentunya itulah ketakutanku untuk menyatakan cintaku meleleh. Namun
impianku untuk mendapatkan dirinya sangat besar. Hingga aku tak berputus asa
untuk memberikan sesuatu yang dapat membantunya.
Semester pertama, Anna memintaku
untuk pergi bersama dalam rapat kerja Himpunan Mahasiswa Program Studi atau
biasa disebut HMPS. Aku pun meng-iyakan, dari pada berangkat naik motor sendiri
mendingan berdua pikirku. Karna semua teman-temanku naik mobil kecuali yang
memiliki motor. Perjalanan sepanjang 30 Kilo meter itulah yang memberikan
benih-benih cinta tersendiri. Benih-benih cinta makin subur, aku sangat yakin
bahwa dirinya adalah jodohku. Bukan hal yang wajar, jika beberapa kali diriku
memimpikannya.
Mengenai mimpi, entah kenapa. Malam
itu setelah selesai mengikuti mata kulih aku pulang dengan mengendarai motor
kesayanganku, baru beberapa meter aku meninggalkan kampus. Wajahku memerah,
darahku mendidih, dan debaran jantungku mengguncang setelah melihat Anna
dibonceng lelaki. Entah itu sepupunya atau siapa. Aku tak ingin begitu lama berada
dibelakang kendaraan yang dinaiki oleh Anna dan Lelaki misterius itu. Langsung
aku tancap gas. Kegeramanku itu tak kunjung berhenti, lalu aku ambil puluhan
ribu uang di dompet untuk membeli nasi goreng porsi jumbo. Tanpa berpikir panjang aku langsung melahapnya
sampai habis, itulah versi pelampiasan marahku.
Aku berfikir keras, dan malam itu
pula aku berkesimpulan “ Kesalahan
terbesar adalah kesalahan dimana aku mencintai sesuatu yang belum menjadi
milikku “ malam itu pula ikrarku tak akan memikirkan dia lagi. Maka hatiku
mulai tenang. Tak sengaja aku berjalan
di samping ruangan yang selalu aku tempati untuk kuliah, namun ruang itu
lengang dan hanya ada Anna di dalam ruang itu, aku sudah berjanji untuk tidak
memikirkan dia lagi. Hingga saat itu pula aku ingin melanjutkan langkahku namun
sebelum itu secara refleks aku menoleh di tempat Anna duduk tadi, aku
kaget aku tak bisa berucap apa-apa. Aku melihat Anna di ganngu oleh empat
cowok. ” Anna…..!!!” teriakku, aku
terbangun. Dari mimpi tersebutlah aku kembali yakin bahwa dia jodohku.
Semester lima, semester yang kacau
bagiku. Itu terjadi karna kedua orangtuaku terlambat untuk mengirimkan uang
dari kampung. Sedangkan gaji bulananku menjadi marketing di salah satu
perusahaan terbesar di mamuju belum terbayarkan. Hal itu aku anggap hal sepele,
namun ternyata dampaknya besar. Selesai kegiatan Pembekalan Praktek Pengalaman
Lapangan (PPL 1) aku kaget ternyata sebagian persyaratan untuk mengikuti PPL
tersebut terkendala. Kepalaku hampir pecah, namun wajah teduh Anna selalu
membuatku segar seolah tak terjadi apa-apa. Ia seolah begitu dekat denganku,
atau mungkin Anna berdecak kagum setelah melihatku tampil membawakan do’a di
acara Pembekalan PPL 1 tadi yang dihadiri hampir seluruh punggawa kampus. Senyumku
pecah.
Wisuda, empat tahun tak begitu
terasa bagiku dan teman-temanku untuk meraih ilmu dan S1. Setelah acara wisuda
selesai, lontaran kata dari Anna menyambutku “ Selamat yah…??? Setelah ini lanjut dimana? Kerja atau kuliah lagi?” “
Aku juga mengucapkan selamat padamu, Sarjana ini adalah kesyukuran tersendiri
yang harus kita ucapkan kepada Allah
SWT, kalo lanjut aku belum tau pasti. Ini aja masih memprogramkan calon Ibu rumah
tangga.. “ kataku sambil mringis….. “
Gimana sudah dapat…??” katanya sambil melotot. “Udah ..” spontan saja
keluar dari mulutku, hingga wajah Anna memerah. “ Siapa..?” tanyanya serius. “
Kamu An….” Ia hanya diam, sambil tersenyum.
Semenjak senyuman kecil itulah yang
memaksaku mendatangi rumah Anna, aku berharap dari senyuman kecil itu dapat
menumbuhkan sedikit kepastian tentang perasaannya . tiba di rumah pak Mahmud . “ Eh… Nak Iful. Masuk nak…?” begitu
biasa orang tua Anna memanggilku. “ Kok tumben baru datang… dah lama ya dak ke
sini.?” Tanya beliau. “Iya lagi sibuk
urus bisnis kecil-kecilan Pak..” “ Wah… bisnis apa..?” “Buka toko computer dan
accessories-nya.” “Wah… itu bukan kecil-kecilan tapi besar.. “ tiba-tiba
Ibu Hasni menyahut, Ibu Anna. Setelah
ngobrol kesana-kemari aku mulai membuka obrolan serius. “Bapak… Ibu… sebenarnya nanda kemari selain bersilaturahmi ada hal
lain juga.” Ku lirik kedua orang tua Anna Nampak serius memperhatikanku. “Sebenarnya Nanda Ingin melamar Anna.”
Ucapku singkat namun pasti. “ Nak… kami sebagai orangtuanya
setuju-setuju saja, namun keputusan mutlak itu ada pada Anna.” Ayah Anna
menyahut. “ Namun saat ini Anna sedang
mengajar di desa terpencil, Desa Rawa Indah. “ kata Ibu Anna, sambil
meneteskan cairan bening di sudut matanya.
Aku pulang dengan tangan hampa, kapan
aku bisa menemui Anna ? untuk menuju kesana mobil, motor ataupun sepeda tak
bisa menjadi alat bantu sedikitpun. Menuju ke Desa Rawa Indah harus menyebrang
tiga sungai dan dua gunung. “Ya Allah…
berilah aku kekuatan dan tetapkanlah Anna menjadi pendamping dunia-akhiratku.”
Do’a ku dengan nada memelas.
Tanpa berpikir panjang, aku
menyiapkan perbekalan. Setelah menganggap semua beres aku kendarai motorku. Otakku
penuh dengan wajah Anna, bayang-bayangnya, senyum dan langkah kakinya. Tiba di
kediaman orang tua Anna, ku titipkan motor, dan ku lanjutkan langkahku menuju
tempat Anna mengajar. “ Pak, masih
jauh…?” entah sudah berapa kali aku tanyakan kepada pengemudi sampan itu. “Masih jauh.” Jawaban yang tak berubah. “ An… bisanya… dirimu terdampar di pelosok
seperti ini…? Apa yang kau pikirkan..? dan Apa yang sebenarnya kau inginkan
An…?” tanyaku dalam hati. Akhirnya… mataku sedikit-demi sedikit terasa
gelap, dan aku tak ingat apa-apa.
Aku kaget, Anna duduk di samping
bangunan reot… yang sengaja didesain menjadi kelas. Anna hanya tersenyum
melihatku, dan ia mulai melanjutkan mengajarnya. Ku lihat disekelilingku.
Rumah…. Jaraknya begitu sangat jauh dengan rumah lain, hampir lima ratus meter…
Aneh… setelah pandanganku kembali menatap wajah teduh Anna… Aku sangat kaget,
Anna yang tadinya ceria sekarang murung dan menangis…… tetesan air matanya
sangat deras… dan tiba-tiba ia meraung….. “Ah…………!!!”
aku hanya bisa memanggil-manggilnya… namun mulutku serasa terkunci… “Pak…. Pak….. Bangun…” segera aku terbangun.
“Pak… sudah sampai…. “ kata pengemudi
sampan tadi meyakinkan. Aku hanya menemukan pepohonan… dan rawa-rawa kecil.
“Pak…
langsung aja…. Jalan lurus……. Ntar pasti nemu perkampungan kecil.” Kata
pembawa sampan tadi yang berumur lebih muda dariku. Aku hanya mengiyakan
setelah memberi ongkos tadi. Tak begitu
lama aku berjalan ku temukan perumahan-perumahan sederhana. Setelah Tanya
kesana-kemari baru aku dapatkan alamat Anna.
“Asalamu’alaikum…
!!!” sapaku dari luar rumah mungil, “Wa’alaikum
salam… Nak… silakan masuk..” sapa wanita , dan aku yakin itu adalah
bude-nya Anna. “Wah… Nanda dari mana…? “
langsung aku ceritakan panjang-lebar keinginanku untuk meminang Anna. Ternyata
respon bude dan pakdenya Anna sama seperti Ayah dan Ibu Anna.
Asyik ngobrol…. Tiba-tiba ada salam
lembut dari balik pintu. “Asalamu’alaikum..”
“Wa’alaikum salam..” jawab kami
bertiga kompak. Langkah lembut, wajah teduh… hadir di depankku… inilah
pertemuan pertamaku setelah diwisuda tiga tahun yang lalu… aku tak bisa
berucap…. Ternyata kedua pipiku basah…. Aku tak sadar ini tangisan apa….
Bahagia, rindu atau sedih….??? Akupun melihat wajah yang sama pada wajah teduh
Anna… serentak kami ber-empat meneteskan air mata… “ Kak…..!” begitu singkat ucap Anna, lalu pergi ke kamar. Aku masih
tak sadar…
Setelah sejam menunggu, Anna pun
keluar rumah… aku mengikutinya. Entah kemana aku dibawanya… Anna terhenti
setelah kami sampai pada dua pohon kelapa yang sangat indah.. “serasi…” ucapku. Di sampingnya terdapat
rawa…. Luas… dan bukit-bukit kecil yang membatasinya. Kamipun duduk berdua,
ber-alaskan blarak “daun kelapa kering”.
“Kak….
Kenapa baru datang…. ?” ucap Anna membuka obrolan. “Maksudmu..?” aku hanya menjawab dingin. “Kak.. tidakkah kau tau… semenjak wisuda tiga tahun yang lalu.. aku berharap,
kakak langsung mendatangiku, meminangku.” Degupan jantungku
tersentak.. aku hanya diam, dan sedikit
kutatap wajah Anna.. muncul butiran bening dari sudut matanya. “ Aku kira kakak serius, mengatakan bahwa
akulah orang yang Kakak akan nikahi, namun…. Tidak.” Sesekali Anna… menyeka
air matanya. “ Semenjak itu aku putuskan
untuk berhenti memikir kamu, dan semenjak itu pula Bude datang ke rumah dan
memintaku untuk datang kesini untk membantu mengajar,.. dan kakak tau…? Di
tempat inilah, aku selalu menghabiskan waktu untuk menunggu seorang yang pernah
berucap untuk menikahiku, orang itu adalah kamu Kak. Aku juga selalu
membayangkan… Pohon kelapa inilah gambaran kita berdua, yang selalu bersama,
memiliki cinta yang kokoh… Namun…” aku mulai meraih tangan Anna… “ An… maafkan aku, bukannya aku tak ingin
menikahimu waktu itu, aku hanya belum siap saja. An… meskipun ini mungkin
terlambat, namun aku berharap kamu masih membukakan pintu hatimu padaku An…
An…. Aku ingin kamu menjadi pendamping hidupku dunia-akhirat, menjadi ibu dari
anak-anakku nanti..” ku eratkan genggaman tanganku seolah tak ingin lepas
lagi.
Semenjak itulah Anna ku nikahi, dan
kuboyong tinggal serumah dengan kedua orangtuaku dan adik perempuanku. Namun
pernikahan yang baru setahun itu saat ini retak. Padahal kebahagiaan, sangat
kami rasakan sebelumnya. “Aneh..”
begitu ucapku, bagaimana tidak,setiap aku pulang dari toko computer yang aku rilis tahun
lalu ia selalu ucapkan kata-kata cerai. Aku selalu menanyakan apa masalahnya,
namun Anna hanya ingin cerai.
Resmi, aku menyandang sarjana duda.
Begitu kata Adik kandungku Neni. “ Kak,
sekarang aku lega… tidak ada lagi yang mengganggu kebahagiaan kita bersama.”
Spontan kata-kata itu keluar darinya. “Maksudmu..?”
tanyaku menyelidik. “Iya, aku senang jika
istrimu itu tak ada disini. “ jawabnya judes. “Terus apa masalahnya kalo istriku ada disini..?” tanyaku lagi
dengan nada marah. “ Pokoknya aku tidak
mau ada orang lain disini..!” begitu jawabnya sambil berlari ke kamarnya.
Aku langsung mengorek informasi dari
kedua orangtuaku, namun beliau berdua tak mengerti. Apa sebenarnya yang telah
dilakukan oleh Adikku kepada Istriku..? aku masih tak menemukan ujung
pertanyaan tersebut.
“Kring……”
bunyi nada panggilan masuk HP-ku, “Nak…
Nak… Ka..mu… ce..cepat datang ke rumah sekarang.” Ucap bapak tadi . itu
adalah bapak Anna, meskipun kami telah bercerai namun hubungan kekeluargaan
tetap terjaga. Langsung saja aku kendarai motor kesayanganku semasa Mahasiswa
dulu sampai sekarang, di perjalanan aku hanya bisa menerka-nerka apa yang
sebenarnya terjadi.
Tiba di rumah Anna, aku tertegun.
Kudapati rumah Anna ramai sekali tak seperti biasanya. Apakah Anna akan menikah
lagi.? Begitu cepat ia menikah, atau itu alasannya minta cerai padaku..? mataku terbelalak ketika kudapati bendera
putih di sudut rumah Anna. Aku masih tak begitu yakin, aku langkahkan kaki dengan perlahan memasuki
rumah Anna, ku dengar alunan bacaan Surah Yasin. Aku masih tak percaya. Namun
aku tak bisa berkedip lagi mendapati jasad yang aku kenali selama ini
dibaringkan di dipan. Otot dan tulangku serasa telah terhantam barang berbobot
tiga Ton. Detik itu hanya gelap yang ku lihat.
“Nak…
Bangun…!!!” setelah istirahat beberapa jam. Aku didatangi kedua orang tua
Almarhumah Anna. “Nak, ini ada surat
tergeletak di samping jasad Anna ketika baru ditemukan. Nak… sabar… ya… Anna
mati mengidap kangker kronis dalam tubuhnya.” Aku mulai baca surat
tersebut.
Teruntuk Kakanda yang kucintai
sepenuh Hati..
Kak…
Sebenarnya cintaku kepada Kakak tiada tara, tak bisa diukur dengan banyaknya
air di samudra. Tak bisa ditimbang dengan banyak gunung-gunung dan lautan….
Kak… sebelum Kakak baca semua isi surat ini, Kakak harus janji tidak akan marah
atau dendam kepada Adik kandungmu Neni. Janji ya…..
Kak,
aku senang telah memiliki suami sepertimu. Kak, ada satu hal kenapa aku meminta
cerai padamu. Itu semua karna Adikmu- Neni. Selama setahun setelah Kakak, Ibu
dan Ayah kakak pergi bekerja, Neni selalu beraksi. Kadang ia bawa temannya
untuk menjambak, memukul, mencubit bahkan menendangku. Aku kadang berusaha
melawan, namun apa daya tubuh kecilku jika disandingkan dengan tubuh besar
Adikmu dan teman-teman adikmu.
Kak…
sebenarnya adikmu sayang padamu. Meskipun ia baru lulus SMA namun ia berani
menendangku demi meraih kembali kasih-sayang kakak kandungnya seperti dahulu.
Namun semenjak menikah, kasih sayang itu seolah-olah telah tersabotase olehku.
Kakak pasti tidak ingat tanggal 11 November ini kan..? ini adalah ulang tahun
Adekmu yang ke 19. “Semenjak Kakakku punya istri kamu, Kakakku jadi lupa dengan
kado ultahku.” Itu kata adikmu.
Kak…
rasa sayangku masih begitu kuat padamu. Kak… jika kita tak begitu bahagia di
dunia ini… Aku harap, nanti kita punya dunia tersendiri di alam sana… salam
manis mengalahkan madu, salam sayang mengalahkan bulan benderang itu semua
tertuju padamu… dariku… Cintamu…
Ditulis dengan tetesan air mata dan
sayatan hati
Anna
Setelah itu aku langsung pulang,
ntah apa yang harus ku perbuat. Memang watak adikku sangat keras… pikirku masih
buram.. dan tanpa berpikir panjang ku tenggak sebotol obat nyamuk cair isi
ulang yang ada dalam botol di tangan. Sebelum itu telah aku tuliskan satu
kalimat di kertas untuk adikku. “Kado
ultahmu adalah nyawaku dan nyawa istriku”. Baru sekitar lima menit aku
tenggak racun tersebut… remang-remang kudengar suara yang tak karuan. Tenang……
menyapa. Kulihat Anna melambaikan tangan memanggilku, aku terhenyak ada Anna
yang lain yang lebih rapi dan cantik menunjuk-nunjukku, dengan ekspresi marah.
Sedikit-demi sedikit mataku melihat
cahaya mentari pagi, di sampingku Neni adik kandungku. Di bawah samping kanan
ranjang Ayah dan Ibuku di sudut lelaki dan wanita yang tak asing – kedua orang
tua Anna.
Adikku terbangun, “ Kak… maafkan aku. Yang telah menyakiti
istrimu.. Kak aku tak menuntut kado lagi, aku baru sadar kado sepecial itu
adalah kakak. Aku sangat egois selalu mementingkan kebahagiaanku, tanpa
memberikan ruang tersendiri buat kakak.” Aku masih enggan berbicara… hanya
tanganku meng-elus-elus rambut adikku itulah jawabanku.
Kesedihan masih menyelimutiku, aku
juga mulai tersadar yang kulakukan tadi adalah hal yang bodoh, mendahului takdir.
Sekilas teringat surat Anna. ”Kak… jika
kita tak begitu bahagia di dunia ini… Aku harap, nanti kita punya dunia
tersendiri di alam sana…” tak berapa lama mataku tertuju pada sosok teduh…
ia tersenyum… seolah meyakinkanku akan dunia tersendiri yang akan aku tempati
dengannya…. Bayang itupun sedikit demi sedikit menghilang…. “Aku masih menanti dengan sabar… seperti
cintamu padaku An….” Begitu ucapku.
Mamuju,
Jum’at 11-11-2011
Meraba
masa depan, di Kost tercinta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar